NASEHAT UNTUK IKHWAH


Pertanyaan:

Salah satu rahmat Allâh subhânahu wa ta’âlâ yang terbesar bagi salafiyyîn saat ini di Indonesia adalah bersatunya barisan salafiyyîn yang dulunya berselisih. Yang ingin kami tanyakan adalah tentang adanya ikhwah yang terhitung masih baru dalam menuntut ilmu yang kadang masih mengungkit-ngungkit perselisihan yang dulu terjadi dan kadang masih menjelek-jelekkan salah satu ustadz. Apa nasihat untuk ikhwah yang seperti ini? Jazâkumullâhu khairân.

NASEHAT UNTUK IKHWAH
YANG MASIH MENGUNGKIT PERSELISIHAN MASA LALU
PADAHAL TELAH TERJADI ISHLAH [1]

Oleh: Al Ustadz Dzulqarnain [2]

Pertanyaan:

Salah satu rahmat Allâh subhânahu wa ta’âlâ yang terbesar bagi salafiyyîn saat ini di Indonesia adalah bersatunya barisan salafiyyîn yang dulunya berselisih. Yang ingin kami tanyakan adalah tentang adanya ikhwah yang terhitung masih baru dalam menuntut ilmu yang kadang masih mengungkit-ngungkit perselisihan yang dulu terjadi dan kadang masih menjelek-jelekkan salah satu ustadz. Apa nasihat untuk ikhwah yang seperti ini? Jazâkumullâhu khairân.

Jawaban:

Nasihat saya, pertama, kita bersyukur kepada Allâh subhânahu wa ta’âlâ atas karunia dan nikmat ini. Dialah Allâh subhânahu wa ta’âlâ yang menyatukan barisan kaum muslimin, yang melembutkan hati salafiyyîn, dan memberi taufiq kepada mereka bersatu di atas kalimat al haq. Dan ini adalah semata karunia dari Allâh subhânahu wa ta’âlâ, walaupun kita membayarnya dengan seluruh dunia, tidak akan ternilai hal tersebut. Ini adalah suatu nikmat yang sangat besar yang wajib kita syukuri.

Kemudian apa-apa yang telah berlalu, biarkanlah berlalu. Sekarang, setiap muslim hendaknya menumbuhkan lembaran-lembaran baru. Kalau dia merasa misalnya ada kekurangan, maka apa salahnya kalau ia menganggap tidak ada masalah agar supaya tercipta suatu maslahat yang sangat besar dan diharapkan untuk seluruh manusia. Dan ia menjadi sebab dalam kebaikan, bukan menjadi sebab di dalam kejelekan.

Kalau ada orang yang berbuat jelek kepada kita, kita diperintah untuk berbuat baik kepadanya. Karena itu dalam Al Qur’an dikatakan,

ادْفَع بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ فَإِذَا الَّذِي بَيْنَكَ وَبَيْنَهُ, عَدَاوَةٌ كَاَنَّهُ, وَلِيٌّ حَمِيْمٌ

“Balaslah dengan hal yang paling baik. (Kalau kamu melakukan seperti ini, kamu diperbuat dengan kejelekan kepadamu, kamu balas dengan yang paling baik) Maka tiba-tiba orang yang tadinya antara kamu dan antara dia ada permusuhan ia akan menjadi penolongmu yang sangat menguatkanmu.” [3]

Maka tidak pantas seorang mukmin menyimpan hal-hal yang seperti ini, apalagi masalahnya sudah diselesaikan oleh para ulama. Bukankah kita semua menghormati para ulama, menjunjung tinggi nilai-nilai Al Qur’an dan As Sunnah? Dan bukankah seluruh masalah telah dianggap selesai oleh para ulama? Maka harusnya kalau kita punya sangkaan, atau punya suatu pendapat lain berbeda dengan pendapat mereka, sangkaan dan pendapat kita harus kita dustakan dan harus kita salahkan. Karena Rasûlullâh shallallâhu ‘alaihi wa ‘alâ âlihi wasallam bersabda,

الْبَرَكَةُ مَعَ أَكَابِرِكُمْ

“Berkah itu bersama orang-orang besar (orang-orang yang berilmu) di antara kalian.” [4]

Kemudian tidak ada manfaat hal-hal yang seperti ini. Maka saya menasihati kepada siapa yang terjatuh dalam hal yang seperti ini, hendaknya sibuk dengan menuntut ilmu, itu lebih bagus. kemudian hal-hal yang telah lalu dia kubur sudah. Ia memaafkannya dan akan mendapat pahala yang sangat besar di sisi Allâh subhânahu wa ta’âlâ. Bukankah kita semua menghendaki kebaikan?

Betapa besar dendamnya Abu Bakar Ash Shiddiq radhiyallâhu ‘anhu dan marahnya beliau kepada Misthoh yang Misthoh ini diberikan nafkah oleh Abu Bakar radhiyallâhu ‘anhu kemudian diberikan berbagai kebaikan. Bersamaan dengan itu ketika terjadi fitnah tentang A’isyah radhiyallâhu ‘anha, ia ikut termasuk yang menyebarkan fitnah. Kemudian Allâh subhânahu wa ta’âlâ menurunkan ayat, “Hendaknya orang-orang yang tadinya memberikan nafkah kembali melakukan hal tersebut. Tidakkah ia ingin Allâh mengampuninya?”

Maka Abu Bakar radhiyallâhu ‘anhu mendengarkan ayat tersebut, ia berkata, “Saya ingin termasuk orang yang diampuni oleh Allâh.”

Ia lupakan seluruh hal tersebut.

Harusnya demikian seseorang bersikap. Dan namanya manusia, siapapun manusia pasti terjatuh dalam kesalahan. Tidak ada yang lepas dari kesalahan. Dan itu sudah merupakan tabiat manusia yang penuh dengan kekurangan dan dikuasai oleh kesalahan dan kekurangan. Maka kita hendaknya pandai memberi udzur. Apalagi kalau terlihat sudah maslahat yang sangat besar, sangat agung bersatunya salafiyyîn. Maka persatuan yang seperti ini jangan sampai ternoda oleh perbuatan dari kita sendiri yang akibatnya pasti kita akan menanggung dosa yang sangat besar karena membuat terpecahnya salafiyyîn dan membuat kemungkaran yang sangat besar.

Dan alhamdulillâh, apa yang terjadi di kalangan salafiyyîn yang masa lalu, khilaf di kalangan mereka dalam masalah ilmiah. Tidak seperti orang-orang hizbiyyin, khilafnya dalam masalah-masalah yang mereka sendiri walaupun kelihatannya bersatu namun hatinya tidak bersatu. Namun salafiyyîn dipersatukan di atas ilmu. Dan kalau memang ada silang pendapat, dasarnya adalah dasar ilmu. Karena itu tatkala mereka merujuk kepada para ulama dan diselesaikan permasalahannya, sudah selesai. Dan ini adalah suatu akhlak yang hendaknya dijaga oleh setiap dari salafiyyîn. Wallâhul musta’ân.

Kemudian butuh saling pengertian, saling memaafkan, apalagi kaitannya dengan maslahat umum dengan kemajuan dakwah dan menyeru manusia untuk menerima kebenaran.
Rasûlullâh shallallâhu ‘alaihi wa ‘alâ âlihi wasallam mengutus Abu Musâ Al Asy’ari dan ‘Ali bin Abi Thalib ke Yaman radhiyallâhu ‘anhum. Maka Nabi shallallâhu ‘alaihi wa ‘alâ âlihi wasallam berpesan kepada keduanya,

يَسِّرُوا وَلاَ تُعَسِّرُوا وَ بَشِّرُوا وَلاَ تُنَفِّرُوا وَتَطَوَّعَ وَلاَ تَخْتَلِفًا

“Hendaknya kalian berdua mempermudah, jangan kalian mempersulit. Hendaknya kalian berdua memberi kabar gembira, jangan kalian membuat orang lari. Dan saling pengertianlah kalian berdua dan jangan berselisih." [5]

Itu da’i harus seperti itu, saling mengalah, saling pengertian. Al khilafu syar, perselisihan adalah kejelekan dan bukan sikap orang yang terpuji memendam hal-hal seperti ini.

Karena itu yang saya nasihatkan kepada diri saya dan kepada seluruh ikhwah untuk:
 Bertaqwa kepada Allâh subhânahu wa ta’âlâ;
 Menjadi sebab dalam kebaikan, bukan menjadi sebab dalam kejelekan,
 Menjadi berkah untuk dirinya/untuk kaum muslimin;
 Menghindari segala sebab yang bisa menimbulkan perselisihan/ perpecahan di kalangan salafiyyîn.

Dakwah ahlus sunnah wal jamaah, mereka dikatakan ahlus sunnah wal jamaah sebab mereka bersatu di atas As Sunnah dan Al Jamaah. Walaupun berbeda negaranya, berbeda tempatnya, keyakinannya sama. Keyakinan ahlus sunnah wal jamaah, aqidahnya dari dulu sampai sekarang tidak ada persilangan pendapat, tidak ada perselisihan, seluruhnya adalah hal yang disepakati. Dan ini adalah ciri kebenaran. Sebab kalau ada perselisihan dan beraneka ragam pendapatnya maka itu menunjukkan kebathilan.

وَلَوْ كَانَ مِنْ عِنْدِ غَيْرِ اللهِ لَوَجَدُواْ فِيهِ اخْتِلاَفًا كَثِيْرًا

“Andaikata itu asalnya selain dari Allâh maka akan terdapat perselisihan pendapat yang banyak.” [6]

Namun dakwah salafiyah satu, tidak pernah ada perselisihan. Sampai di masa ini tidak ada perselisihan antara Syaikh Al Albani dan Syaikh Bin Baz, tidak ada perselisihan antara Syaikh Bin Baz dan Syaikh Ibnu ‘Utsaimin. Demikian pula tidak ada perselisihan antara keduanya dan Syaikh Muqbil dan para ulama yang lain. Seluruh para ulama kita bersatu di atas Al Qur’an dan As Sunnah.

Kalau ada khilaf, khilaf di dalam masalah furu’, masalah fiqih itu wajar sebab dalilnya kadang mengandung dua kemungkinan. Yang satu sedekap, yang satu tidak sedekap, wajar ada khilaf di situ, dalilnya mengandung kemungkinan. Yang satunya menggerak-gerakkan jari yang satunya tidak menggerak-gerakkan jari, kita tidak mengingkari salah satu dari keduanya, sebab pembahasan haditsiyah memang berkembang dan dibangun di atas dasar ijtihad. Dan yang seperti ini dimaklumi. Tapi kalau berselisih dalam masalah keyakinan, terjadi khilaf dalam hal-hal yang sifatnya manhajiyah, ini adalah perkara yang tercela.

Kemudian untuk saat ini tidak ada lagi dalil untuk mengangkat hal-hal yang sifatnya mengungkit hal-hal yang telah lalu. Tidak ada lagi dalil untuk mengangkat hal tersebut dan tidak diperlukan. Karena itu, sekali lagi yang saya nasihatkan untuk diri saya dan kepada seluruh hadirin dan yang mendengar ucapan ini, hendaknya kita semua bertaqwa kepada Allâh subhânahu wa ta’âlâ dan bersatu di atas Al Qur’an dan Sunnah Rasûlullâh shallallâhu ‘alaihi wa ‘alâ âlihi wasallam . Wallâhu ta’âla a’lam. 

[1] Ditranskrip oleh Abu Yahyâ Muhammad Syarif dari rekaman taushiyah Al Ustadz Dzulqarnain pada tanggal 13 Desember 2005 di Masjid MTs Negeri Samarinda, Jl. Gitar Samarinda. Transkrip ini dengan beberapa editing redaksi yang pada tanggal 4 Muharram 1429 H/13 Januari 2008 telah diizinkan oleh beliau untuk disebarluaskan.
[2] Beliau adalah pimpinan Ma’had As Sunnah Makassar dan pemimpin umum Majalah An Nashihah. Saat ini bermukim di Saudi Arabia guna memperdalam menuntut ilmu. Di antara guru-guru beliau adalah Syaikh Muqbil bin Syaikh Muqbil bin Hadi Al Wadi’i, Syaikh Rabî’ bin Hâdi Al Madkhali, Syaikh Ahmad bin Yahyâ An Najmi, dan Syaikh Shâlih bin Fauzân Al Fauzân.
[3] Al Qur’an Surat Fushilat ayat 34.
[4] Hadits Ibnu ‘Abbâs radhiyallâhu ‘anhu yang diriwayatkan oleh Ath Thabarani, Ibnu ‘Adi, Al Hâkim, Ibnu Hibbân, Al Baihaqi, Abu Nu’aim, Al Qadhâ’î, As San’ânî, Al Khatîb, dan lain-lain, dishahihkan oleh Syaikh Al Albâni dalam Silsilah Ahâdits Ash Shahîhah no. 1778.
[5] Hadits riwayat Al Bukhâri dan Muslim.
[6] Al Qur’an Surat An Nisa’ ayat 82.

No comments:

Post a Comment